KEBUMEN - Dampak cuaca anomali yang berupa curah hujan masih turun mulai dirasakan oleh para petani tembakau di wilayah Kecamatan Karanggayam, Kebumen. Akibat cuaca anomali, tanaman tembakau sampai rusak. Bahkan bibit tanaman tembakau varietas kemloko bantuan dari pemerintah sampai mati. Kepala Desa Clapar, Sukirno mengatakan, akibat cuaca yang tidak menentu membuat petani tembakau di Karanggayam banyak yang mengurungkan niatnya menanam tembakau. Kalau pun ada yang menanam itu pun untung-untungan.
Jika cuaca normal dan tanah tidak lembab maka hasil akan baik. Namun kalau cuacanya kurang mendukung maka bukan untung yang didapat, namun malah akan rugi. "Cuaca sekarang sulit diprediksi. Kalau biasanya, mulai bulan Mei petani mulai tanam tembakau karena sudah memasuki musim kemarau. Tetapi kenyataannya, masih sering turun hujan deras," kata Sukirno, Jumat (23/7).
Akibat cuaca buruk, katanya, banyak petani yang terpaksa harus melakukan penanaman ulang garagara tanaman tembakau mereka rusak terkena hujan. Bahkan ada yang terpaksa harus melakuan tanam ulang sebanyak empat kali. "Padahal, untuk sekali tanam dibutuhkan modal cukup besar. Rata-rata Rp 250 ribu. Biaya tersebut untuk pembelian bibit tembakau yang rusak, upah tenaga kerja penanaman dan pupuk," katanya.
Turun 30 persen
Sukirno memprediksi dampak dari anomali cuaca tersebut mengakibatkan luas lahan tanaman tembakau di Kecamatan Karanggayam turun sekitar 30 %. Jika sebelumnya ada sekitar 900 ha areal pertanian tembakau, kini hanya ada sekitar 550 ha areal sawah yang ditanami tembakau.
"Karena cuaca tidak menentu, para petani memilih menanam palawija. Disamping tidak resiko, agar lahan tidak kosong," ujarnya. Mengenai bibit tembakau bantuan pemerintah, Sukirno mengatakan kalau banyak yang mati. Dari 20 ribu batang, hanya sekitar 5-10 persen saja yang bisa bertahan hidup. Sebagai penggantinya petani menyulami dengan bibit tembakau lokal.
"Daripada tidak ada hasilnya sama sekali, bibit tembakau yang mati disulai bibit tembakau lokal," ujar Kirno, yang juga Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kebumen ini. Kabid Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Ir Sus Agus Sutirta ketika dikonfirmasi membenarkan kalau sebagian bantuan bibit tembakau dari pemerintah mati. Hal ini karena cuaca yang tidak menentu.
"Yang seharusnya, bulai Mei mulai kemarau namun masih aja turun hujan. Akibatnya bibit tembakau yang terlanjur ditanamnya pada mati," kata Agus. Ia mengatakan, pemberian bantuan bibit tembakau kemloko adalah salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian tembakau.
Sebab, tembakau varietas super ini dapat meningkatkan produktivitas pertanian tembakau. "Jika menggunakan bibit tembakau lokal, dalam 1 hektar lahan tembakau hanya dapat menghasilkan sekitar 490 kilogram tembakau rajang kering dengan nilai jual ratarata Rp 29 ribu/kg. Kalau tembakau kemloko bisa menghasilkan 700 kg rembakau rajang kering. Nilai jualnya pun jauh lebih tinggi. Paling rendah, harganya Rp 35 ribu/kg," katanya. Kt.6-ad
Sumber :http://www.wawasandigital.com
Jika cuaca normal dan tanah tidak lembab maka hasil akan baik. Namun kalau cuacanya kurang mendukung maka bukan untung yang didapat, namun malah akan rugi. "Cuaca sekarang sulit diprediksi. Kalau biasanya, mulai bulan Mei petani mulai tanam tembakau karena sudah memasuki musim kemarau. Tetapi kenyataannya, masih sering turun hujan deras," kata Sukirno, Jumat (23/7).
Akibat cuaca buruk, katanya, banyak petani yang terpaksa harus melakukan penanaman ulang garagara tanaman tembakau mereka rusak terkena hujan. Bahkan ada yang terpaksa harus melakuan tanam ulang sebanyak empat kali. "Padahal, untuk sekali tanam dibutuhkan modal cukup besar. Rata-rata Rp 250 ribu. Biaya tersebut untuk pembelian bibit tembakau yang rusak, upah tenaga kerja penanaman dan pupuk," katanya.
Turun 30 persen
Sukirno memprediksi dampak dari anomali cuaca tersebut mengakibatkan luas lahan tanaman tembakau di Kecamatan Karanggayam turun sekitar 30 %. Jika sebelumnya ada sekitar 900 ha areal pertanian tembakau, kini hanya ada sekitar 550 ha areal sawah yang ditanami tembakau.
"Karena cuaca tidak menentu, para petani memilih menanam palawija. Disamping tidak resiko, agar lahan tidak kosong," ujarnya. Mengenai bibit tembakau bantuan pemerintah, Sukirno mengatakan kalau banyak yang mati. Dari 20 ribu batang, hanya sekitar 5-10 persen saja yang bisa bertahan hidup. Sebagai penggantinya petani menyulami dengan bibit tembakau lokal.
"Daripada tidak ada hasilnya sama sekali, bibit tembakau yang mati disulai bibit tembakau lokal," ujar Kirno, yang juga Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kebumen ini. Kabid Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Ir Sus Agus Sutirta ketika dikonfirmasi membenarkan kalau sebagian bantuan bibit tembakau dari pemerintah mati. Hal ini karena cuaca yang tidak menentu.
"Yang seharusnya, bulai Mei mulai kemarau namun masih aja turun hujan. Akibatnya bibit tembakau yang terlanjur ditanamnya pada mati," kata Agus. Ia mengatakan, pemberian bantuan bibit tembakau kemloko adalah salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian tembakau.
Sebab, tembakau varietas super ini dapat meningkatkan produktivitas pertanian tembakau. "Jika menggunakan bibit tembakau lokal, dalam 1 hektar lahan tembakau hanya dapat menghasilkan sekitar 490 kilogram tembakau rajang kering dengan nilai jual ratarata Rp 29 ribu/kg. Kalau tembakau kemloko bisa menghasilkan 700 kg rembakau rajang kering. Nilai jualnya pun jauh lebih tinggi. Paling rendah, harganya Rp 35 ribu/kg," katanya. Kt.6-ad
Sumber :http://www.wawasandigital.com
0 komentar:
Posting Komentar